Postingan

Kelana Cita dan Cinta 1

Sifat alamiah manusia adalah menyalahkan takdir. Kenapa aku seperti ini? Kenapa aku seperti itu? Seandainya dulu aku begini pasti akan begini. Seandainya dulu aku begitu pasti akan begitu. Aku menyesal telah melakukan ini, aku menyesal telah melakukan itu. Kenapa perjalanan kehidupan aku seperti ini, padahal aku lebih baik dari si dia dan si dia. Aku mengusahakan yang lebih dari dia dan dia. Nah, seperti itulah kita manusia mahkluk lemah ini. Selalu saja berkeluh kesah, seakan-akan semuanya yang tidak diingkan bisa saja tidak terjadi dengan menggunakan ungkapan "kalau,jika, coba, seandainya,dll". Namun kita lupa bahwa semuanya sudah Qadarullah, tidak akan terjadi tanpa Allah ijinkan. Bahkan sehelai daun yang tajuhpun tidak akan terjadi tanpa izin Allah. Senantiasalah untuk tidak menyalahkan takdir. Bermuhasabahlah, mungkin kita kurang taat. Dosa-dosa maksiat masih saja menjadi penghambat keberkahan Allah terhadap kita. Atau bahkan apa-apa yang kita inginkan memang buka
Mungkin bukan aku yang tak benar-benar menaruh hati pada yang lain, hanya saja dulu aku pernah menanaruh hati pada hatimu teramat dalam. Ketika terlukapun, hanya sampai epidermisnya saja. Jadi rasa yang sudah tertanam dalam masih bersusah payah memunculkan benih-benih baru yang lebih kokoh.

Terbang

Everyday is Monday. Ini yang selalu aku katakan ketika weekendku menjelma menjadi weekday. Setiap minggu aku dan beberapa rekanku berkunjung ke panti asuhan untuk mengajar dan belajar. Mengajarkan anak-anak untuk bisa berbahasa inggis dan membantu tugas-tugas sekolah lainnya. Belajar tentang apa-apa yang dapat dijadikan pelajaran dan hikmah. Hampir 6 bulan aku aktif sekedarnya, bukan karena apa-apa. Tapi memang tuntutan tugas perkuliahan yang tak bisa diduakan. Hari ini aku kembali menyempatkan diri menemui mereka. Yah benar, hanya untuk menemui mereka. Malaikat-malaikat kecil yang terpaksa dibesarkan tanpa kedua orang tua dan keluarga dekat. Banyak yang berbeda. Ruangan, fasilitas, warna, arah, bahkan suasana. Merekapun berbeda, semuanya tak lagi yang pernah ku temui beberapa bulan lalu. Hanya beberapa saja yang aku kenal. Beberapa lainnya anak-anak baru. Yang tak pernah berbeda adalah hangatnya rumah ini. Hangatnya mereka bercanda dan bekerjasama dengan kakak yang

Bagian Termanis

Menjadi mahasiswa adalah hal yang sangat didambakan. Jauh-jauh hari sudah menyusun serangkaian rencana untuk status yang disebut mahasiswa ini. Ketika masih mengenakan rok merah, baju putih, dasi merah, dan topi merah putih bertuliskan "Tut Wuri Handayani". Sudah terbayang betapa indahnya menyandang status Mahasiswa. Dalam usia sekecil itu, sudah memikirkan PTN mana yang akan dipilih. Ketika sudah menjadi Mahasiswa, memang apa yang dibayangkan benar-benar indah adanya. Hal ini bertahan hingga semester tujuh. Dengan berakhirnya semester tujuh, saat itulah  beban skripsi melanda.

Pengamen apa Penga(nggu)men?

Sore ini saya bakalan nulis tentang satu hal yang menarik untuk direnungkan. Hal menarik ini saya temukan dalam perjalanan menuju tanah kelahiran.

Hanya Aku yang Sekarat, Sedangkan Kau Semakin Kuat

Aku kamu pernah bertemu. Kemudian menjadi kita. Hingga pada akhirnya kembal menjadi aku kamu. Perlahan-lahan melangkah saling menjauh, benar-benar menjauh, dan terlupakan. Tepatnya saling melupakan. Dulu kitaam saling berbagi cerita tentang keberhasilan masing-masing. Aku sering bercerita tentang nilai yang aku peroleh. Tentang peringkat kelas yang aku peroleh. Bahkan tak jarang kamu telah menembaknya terlebih dahulu. Sama halnya seperti aku yang selalu bercerita tentang apa yang aku dapatkan. Kamu juga sering menceritakan bagaimana kamu memenangkan rode demi ronde dalam pertandingan. Kemudian medali apa yang dikalungkan dilehermu. Mengenai melupakan, bukankah itu sebuah keberhasilan? Lantas, mengapa kita tak saling bercerita tentang keberhasilan ini? Apakah ini sulit bagimu yang kini kita telah menjadi aku? Apakah ini sulit bagimu yang kini kita telah menjadi kamu? Apakah ini sulit bagimu yang kini kita telah menjadi puing kenangan yang selalu kita bunuh dalam ingata

Bukan Jaminan Rasakan yang Sama

Aku pernah berdoa untuk satu nama. Doanya seperti ini "Ya Rabb... Jika dia baik untukku dan untuk agamaku, Maka dekatkanlah. Namun jika dia tidak baik untukku dan untuk agamaku, Maka jauhkanlah" Doa yang sama untuk nama yang sema selalu aku munajadkan. Tak jarang beberapa kata ini berhasil membuat aliran sungai di wajahku. Berulang kali aku ingatan menarikku kebelakang. Ke waktu-waktu lampau yang dulu membuatku tersenyum. Namun ketika mengingatnya kembali saat ini, aku tak lagi tersenyum. Namun meneteskan air mata. Hidup seaneh itu ya. Mengalami dan mengenang hal yang sama ternyata bukan jaminan merasakan hal yang sama. Berurai tawa ketika mengalami dan berurai tangis ketika mengenang.